Nafsu. Organ rohani manusia yang memiliki pengaruh paling banyak dan paling besar di antara anggota rohani lainnya yang mengeluarkan instruksi kepada anggota jasmani untuk melakukan suatu tindakan.
Nafsu secara etimologis berhubungan dengan asal usul "peniupan" dan sering secara silih berganti di pakai dalam literatur bahasa Arab dengan arti "jiwa kehidupan" atau "gairah dan hasrat duniawi", suatu istilah yang sangat banyak di gunakan dalam khazanah kaum sufi. Al-Gazali memeperlihatkan dua bentuk pengertian nafsu tersebut. Satu di antaranya adalan pengertian yang menggabungkan kekuatan amarah dan nafsu di dalam diri manusia. Sebenarnya kedua unsur tersebut mempunyai maksud yang baik, sebab mereka bertanggung jawab atas gejala-gejala jahat di dalam pribadi seseorang, dan sebaliknya bagian yang merusak dari amarah dan nafsu harus di tertibkan dan di batasi tindakannya. Adapun pengertian kedua dari nafsu ialah "kelembutan Ilahi". Dengan demikian nafsu dapat di pahami sebagai keadaan sesungguhnya dari wujud atau perkembangan pada suatu tingkatan tertentu dalam pribadi secara keseluruhan. Ia mengandung arti penjelasan hubungan yang sesungguhnya antara hati dan gairah tubuh, dan dalam keadaan tertentu dari kelembutan Ilahi.
Dalam khazanah tasawuf dikenal adanya proposisi bahwa yang paling dekat denagn seseorang itu adalah dirinya sendiri, dan menginsafi diri sendiri adalah awal dari pengenalan terhadap Allah SWT, sebagai gambaran dari kesempurnaan akhlak seseorang ( man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbah " barang siapa tahu dirinya maka sesungguhnya telah mengetahui Tuhannya " ). Pada sisi lain manusia itu sendiri terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani da rohani, yang di sebut terakhir di lengkapi dengan empat organ, satu di antaranya adalah nafsu, di samping akal, qalbu, dan roh. Nafsu adalah suatu organ yang besar pengaruhnya dalam mengmengeluarkan instruksi kepada jasmani untuk berbuat durhaka atau taqwa, kekuatan yang akan di tuntut pertanggungjawabannya atas perbuatan buruk dan baik, bekerja dan berkehendak, kekuatan yang dapat menerima ajakan naluri rendah hawa nafsu.
Dalam literur tasawuf, nafsu di kenal memiliki delapan kategori, dari kecenderungan yang paling dekat pada tindakan buruk sampe ketingkat kedekatan kepada kelembutan Ilahi.
An- nafsu al-ammarat bi as-su, yaitu kekuatan pendorong naluri sejalan dengan nafsu yang cenderung kepada keburukan. Hal ini di tegaskan surah Yusuf ayat 53 ("Dan aku [Nabi Yusuf] tidak melepaskan diri dari tanggung jawab [atas kesalahan] karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh [cenderung] kepada keburukan"). Nafsu pada kategori ini belum mampu membedakan yang baik dan yang buruk, belum memperoleh tuntunan tentang manfaat dan mafsadat ( kerusakan ), semua yang bertentangan dengan keinginannya dianggap musuh, sebaliknya setiap yang sejalandengan kemauannya adalah karibnya. Dalam tindakan nyata dapat terlihat selalu khianat, enggan menerima nasihat dan saran, dan sebaliknya gembira menerima bisikan iblis dan setan yang menunjukkan jalan buruk dan terkutuk. Terhadap nafsu dalam kategori ini, Allah SWT memperingatkan agar tidak diikuti, sebab ia akan menyesatkan, dan setiap yang sesat akan mendapatkan azab yang berat ( QS. 38:26 ), bahkan mengikuti nafsu ini di gambarkan akan mengakibatkan hancurnya langit dan bumi dengan segala isinya ( QS.23:71 )
Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang telah mempunyai rasa insyaf dan menyesal sesudah melakukan suatu pelanggaran. Ia tidak berani melakukan pelanggaran secara terang-terangan dan tidak pula mencari secara gelap untuk melakukan sesuatu karena ia telah menyadari akibat-akibat dari perbuatannya. Namun dia belum mampu mengekang nafsu yang membawa kepada perbuatan buruk itu. Oleh karena itu, ia masih selalu dekat kepada pekerjaan yang mufsadat. Kategori nafsu ini denagn segala sifat-sifatnya oleh para sufi didasarkan pada empat firman Allah SWT, masing-masing : surah Al-Qiyamah ayat 1-2: "Aku ( Allah ) bersumpah dengan dengan hari kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali ( dirinya sendiri ": demikian juga pada ayat 14-15: "Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri meskipun ia mengemukakan alasan-alasannya." Pada tingkat ini seseorang, jika telah selesai mengerjakan suatu pekerjaan yang buruk, menjadi insyaf dan menyesal, dan seterusnya mengharap agar kejahatannya tidak terulang lagi dan semoga dia memperoleh ampunan. Pada dirinya telah tumbuh bibit pikiran dan kesadaran, bahkan disebut bahwa nafsu inilah yang akan menghadapi perhitungan kelak pada hari kiamat.
Nafsu Al-Musawalah, yaitu nafsu yang telah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun baginya mengerjakan yang baik itu sama halnya dengan melakukan yang buruk. Ia melakukan perbuatan buruk meskipun tidak dengan terang-terangan tetapi dilakukannya dengan sembunyi-sembunyi, karena sifat malu telah ada padanya. Namun malu yang muncul itu baru merupakan malu terjadap orang lain, belum atas kesadarannya sendiri.Ia malu kalau orang lain mengetahui keburukannya atau kejahatan yang dilakukannya. Kategori ini masih berada pada posisi dekat dengan keburukan, sebab Allah SWT secara jelas melarang manusia untuk mencampuradukkan yang hak dengan yang batil ( QS.2:42 ), dan bahwa Allah SWT mengetahui apa yang dirahasiakan dan apa yang dilahirkan, dan mengetahui pula apa saja yang diusahakan hamba-hambanya ( QS.6:3; 2:7 ).
Nafsu Al-Mutma'innah, yaitu nafsu yang telah mendapat tuntunan dan pemeliharaan yang baik. Ia mendatangkan ketentraman jiwa, melahirkan sikap dan perbuatan yang baik, mampu membentengi serangan kekejian dan kejahatan, dan mampu memukul mundur segala kendala dan godaan yang mengganggu ketentraman jiwa, bahkan ketenangan jasmaniah terutama dengan dzikir kepa Allah SWT. Ia berfungsi mendorong melakukan kebajikan dan mencegah berbuat kejahatan. Posisi nafsu ini secara jelas digambarkan Allah SWT dalam surah Ar-Ra'd ayat 28 dan 29: "(yaitu) orang-orang yan beriman dan hati mereka menjadi tenteram ( tatma'inn ) dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram" ( ayat 28 ). "Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembaki yang baik" ( ayat 29 ). Nafsu di sini telah mapan dan tidak terganggu lagi oleh gairah, sehingga dapat secara khusyuk memenuhi keyakinannya.
5. Nafsu Mulhamah, yaitu nafsu yang memperoleh ilham dari Allah SWT, dikaruniai ilmu pengetahuan.Ia telah di hiasi akhlaq mahmudah ( akhlak yang terpuji ), dan ia merupakan sumber kesabaran, ketabahan dan keuletan. Pada tingkat ini nafsu itu telah terbuka kepada berbagai petunjuk ( ilham ) dari Allah SWT. Dengan itu pula seseorang telah memiliki sifat-sifat yang menunjukkan kepribadian yang kuat, sebagaimana yang ditegaskan Allah SWT dalam surah as-Syams ayat 7-10: " dan jiwa serta penyempurnaannya ( ciptaannya ), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu ( jalan ) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya."
6. Nafsu Radiyah. yaitu nafsu yang ridha kepada Allah SWT, yang mempunyai peran yang penting dalam mewujudkan kesejahteraan. Nafsu ini dalam realisasinya sering kali muncul dalam bentuk tindakan-tindakan, misalnya ia selalu mensyukuri nikmat Allah SWT, sebab Allah SWT menjanjikan tambahan nikmat bagi mereka yang bersyukur kepada nikmat-nikmat Allah SWT, dan sebaliknya akan di beri azab mereka yang tidak mensyukuri nikmat itu ( QS.14:7 ). Nafsu ini akan menjadikan seseorang ridha dalam melaksanakan segala perintah Allah SWT, dan secara ikhlas pula menjahui segala larangannya, secara senantiasa kanaah atau merasa cukup/ memadai pemberian Allah SWT.
7. Nafsu Mardiyah, yaitu nafsu yang mencapai ridha Allah SWT. Keridhaan tersebut terlihat pada anugrah yang diberikan-Nya berupa senantiasa berdzikir, ikhlas, mempunyai karomah, dan memperoleh kemuliaan, sementara kemuliaan yang diberikan Allah SWT itu bersifat universal, artinya jika TUhan memuliakannya, siapa pun tidak akan bisa menghinakannya, demikian pula sebaliknya oramg yang dihinakan oleh Allah SWT, siapa pun tidak bisa memuliakannya.
Dua nafsu tersebut terakhir, yakni nafsu radiyah dan mardiyah, oleh para sufi didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Fajr ayat 27-28 : " Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada TUhanmu dengan hati yang puas lagi di ridhai-Nya." Hamba yang di ridhai akan di masukkan kedalam surga-Nya.
8. Nafsu Kamilah, yaitu nafsu yang telah sempurna bentuk dan dasarnya, sudah dianggap cakap untuk mengerjakan irsyad ( petunjuk ) dan menyempurnakan penghambaan kepada Allah SWT. Orangnya dapat di sebut sebagai *mursyid dan mukammil ( orang yang menyempurnakan ) atau * insan kamil, yang dalam pengalaman para sufi telah tercapai tajjali ( terbuka, tak bertabir ), asma' wa as-sifat ( nama dan sifat ), baqa'billah ( berada bersama Allah ), fana fillah ( hancur dalam Allah ), ilmunya ilmu ladunni minallah ( ilmu anugrah Allah ).
Dengan demikian nafsu sebagai unsur rohani manusia pada tingkat tertentu dapat diarahkan kepada perbuatan baik dan pada tingkat tertentu pula manusia bisa dirongrong dan di goda hawa nafsu sehingga terseret ke lembah kehinaan. Jika telah demikian, hawa nafsu telah merajalela dan mengganas, menjerumuskan manusia ke tempat yang hina, tempat yang paling rendah, yang Allah SWT telah janjikan akan mengembalikan manusia ke tempat seperti itu.
Demikianlah sikap Islam terhadap nafsu itu, sebagaimana di fahami para sufi yakni mengembangkan sifat baik dan memberi peringatan kepada nafsu yang buruk bahkan mengusahakan untuk tidak memanjakannya dalam menjalani latihan-latihan yang keras untuk menundukkannya. Orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya ( QS.79:40,41 ). Para pecinta akhlak dan tasawuf menyebut bahwa jihad paling besar adalah jihad melawan nafsu ( hawa nafsu ).
Baca Selengkapnya......
Thursday, February 14, 2008
Nafsu
Subscribe to:
Posts (Atom)